Senin, 18 Juli 2016

AK-47 SANG LEGENDA PERANG

AK-47

Serbuan kilat Jerman ke Eropa Timur, tahun 1938 membuat serdadu Soviet kocar kacir. Di berbagai lini pertempuran, pasukan Tentara Merah terpukul mundur. Salah satu penyebabnya adalah minimnya persenjataan yang handal. Inilah yang menginspirasi Sersan Mikhail Timofeevich Kalashnikov membuat senjata yang sederhana dan andal.


Selepas dari sekolah Mekanikal Engineering di Kiev, Kalashnikov bergabung dalam divisi Tank. Dia pun mulai mengutak-atik senjata mesin yang ada di Tank untuk dimodifikasi menjadi senapan panggul bagi pasukan infantri. Tahun 1941, prajurit kelahiran Kurya, wilayah Altai, Rusia itu mulai mengajukan rancangannya ke Angkatan Darat Soviet di Leningrad. Namun, dalam satu pertempuran di Bryansk, di bulan Oktober, ia tertembak.



Dalam masa perawatan, sambil menghitung hari di barak rumah sakit Tentara, Kalashnikov memikir desain senapan mesin ringan. Begitu sembuh, ia segera aktif di bengkel dan pada tahun 1942, karyanya dikembangkan di Institut Penerbangan Rusia di Moskwo. Dua tahun kemudian, model yang lebih sempurna dengan karabin yang bisa mengisi peluru sendiri secara otomatis.

Model terakhir inilah yang menjadi dasar pengembangan senapan mesin ringan otomatis, Kalashnicov. Setelah lolos dari tes dan uji coba yang berat, maka lahirlah AK-47. Nama itu berasal dari singkatan “Automatic Kalashnikov” dan angka 47, menunjukkan tahun pertama secara resmi senapan itu digunakan tentara Soviet. 


Keandalan senjata itu teruji, dalam beberapa kali duel, tentara Jerman mulai kocar-kacir . Apalagi dalam pertempuran di suhu beku, banyak darah yang membasahi salju, dari serdadu Nazi yang tertembus timah panas. Atas prestasi yang gemilang ini, pemimpin tertinggi Rusia, Josef Stalin, menyematkan bintang tertinggi, Stalin First Class di dada Sersan Mikhail Timofeevich Kalashnikov.

Keandalan AK-47 juga teruji dalam medan tempur yang ganas di Vietnam. Senjata yang mampu meledak walau terendam lumpur dan rawa-rawa. Ini pula yang membuat frustasi serdadu Amerika. 100 ribu pasukan terkubur di ladang-ladang dan Amerika pun terusir dari Indochina.

Dalam duel AK-47 dengan M-16 andalan infantri AS. Dalam pertempuran membutuhkan berondongan terus-menerus, senjata AS M-16 sering macet, ini  larasnya tidak tahan panas tinggi. Belum lagi medan berlumpur di hutan-hutan Vietnam. Ukuran body M-16 yang lebih panjang menyulitkan gerak pasukan dalam pertempuran.





Di perbatasan Afganistan, penduduk mampu membuat tiruan sendiri untuk memasok Taliban. Atau personal-personal lain yang merakit dan mensuplai ke daerah konflik.


Ditahun 1990–an bedil tua ini digunakan Gangster-gangster Rusia. Dalam beberapa konflik di Afrika dan timur tengah, AK-47 menjadi senjata andalan para petarung. 







Bahkan anak-anak di kawasn Afrika dan Afganistan kerap kali memanggul senjata ini.







AK-47 menjadi senapan serbu andalan para Gerilyawan dan pemberontak di berbagai belahan bumi. Sehingga dikenal menjadi SENJATA KAUM REVOLUSIONER. 



Penulis sebagai Praktisi beladiri dan hobi menembak dengan keahlian sebagai Mechanical Desain dan Engineering mempelajari cara kerja dan konstruksi mekanik AK-47 yang melegenda ini. (Suparmo)



Kamis, 14 Juli 2016

KENAPA SABUK HITAM KALAH DENGAN PREMAN


Alasan terbesar orang tertarik belajar bela diri pada umumnya adalah agar bisa mempertahankan diri saat terjadi serangan fisik. Namun tidak sedikit yang pesimis berpendapat belajar bela diri di jaman sekarang sesungguhnya tidak lebih dari olah raga aerobik yang dibungkus dalam bentuk combat. Pesimis menjadi sinis setelah menyaksikan beberapa pertandingan bela diri (terlepas apa alirannya) yang terlihat sangat tidak realistis dengan segudang peraturan. Percaya diri mampu mengatasi ancaman fisik setelah mencapai sabuk hitam, mendapat piala dari berbagai kejuaraan tidak hanya menggelikan bahkan berbahaya karena teknik-teknik yang digunakan dalam pertandingan dan dojang (aula latihan Taekwondo) tidak efektif menghadapi serangan di jalanan. Fenomena ini mirip dengan murid yang selalu juara kelas, lulus dari universitas ternama dengan IPK tinggi tapi kesulitan mencetak prestasi di tempat kerja karena tidak tahu cara menghadapi politik kantor, bekerja sama dengan rekan kerja secara efektif, jeli melihat peluang karir dan keahlian-keahlian praktis lainnya yang tidak diajarkan di kelas. Kita menamai fenomena ini School Smart Vs Street Smart. 



Mirip halnya dalam dunia bela diri, ada istilah Scoring Punch Vs Knockout Punch (meninju untuk mendapat nilai dari juri Vs meninju untuk merobohkan lawan/menetralisir ancaman). Belajar bela diri sebagai murni olah raga sah-sah saja. Memenangkan piala kejuaraan membawa prestise bagi perguruan dan ajang promosi aliran bela diri yang ditekuni. Tapi ingat hakikat bela diri adalah untuk mempertahankan diri. Jago di arena tidak otomatis pasti jago di jalanan. Instruktur dan murid-murid senior mengawasi jalannya latihan di dojang. Dalam pertandingan peran ini diwakili oleh wasit untuk memastikan jalannya pertandingan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kontestan pun dibagi berdasarkan berat badan, jenis kelamin dan warna sabuk agar lebih adil seimbang. Saya rasa peraturan-peraturan pertandingan bela diri yang paling banyak menuai kritik dari mereka yang serius belajar bela diri untuk mempertahankan diri.




Pernahkah Anda bertanya, diantara sekian banyak aliran mengapa hanya Judo dan Taekwondo (versi WTF) yang masuk Olimpiade? Kata Tae kwon do secara harafiah berarti ‘seni tangan dan kaki’ tapi serangan tangan (tidak ke kepala tentunya) nyaris tidak terlihat dalam pertandingan, malah sering kali terkesan dibiarkan terluntai disamping badan. Pelindung yang dikenakan kontestan pun super lengkap dari kepala, gigi hingga tulang kering. Dugaan saya karena komite Olimpiade tidak ingin ajang olah raga sejagat tercoreng ‘darah’ bak arena gladiator. Dalam latihan persiapan petandingan, kontestan juga belajar ‘teknik tipu’ untuk membuka peluang serangan dan mencetak angka dalam kerangka peraturan pertandingan yang berlaku. Juri menentukan siapa menang atau kalah. Lokasi dan durasi pertarungan juga sudah diset. Sebelum pertandingan dimulai, lawan saling berhadapan membungkukkan badan. Bahkan kontes MMA dan UFC yang konon merupakan puncak dari perhelatan bela diri saja masih ada aturan-aturan yang mengekang. Seluruh aturan diatas hanya punya satu tujuan: menciptakan lingkungan belajar/tempat praktek yang aman. 

Ketika masih kuliah, saya belajar keras menjelang ujian agar pada saat ujian materi pelajaran tinggal mengalir dengan lancar. Tapi dalam belajar bela diri, kita malah belajar dengan cara ‘aman’ untuk menghadapi ancaman kekerasan fisik yang tidak mengenal aturan. Jadi benarkah belajar bela diri hanya buang-buang waktu saja? Saya berani bilang tidak. Unsur belajar murni untuk mempertahankan diri seperti serangan ke tenggorokan tetap ada dalam hampir seluruh sekolah bela diri meskipun proporsinya berbeda tergantung kurikulum sekolah yang bersangkutan (tournament oriented Vs Self Defence) setidaknya menurut pengamatan pribadi keluar masuk beberapa perguruan Taekwondo selama beberapa tahun. Buktinya seorang mahasiswi asal Semarang Alfin Nikmatul Maula, dua kali berhasil meloloskan diri dari usaha penculikan berkat mahir bela diri pencak silat (sumber: kompas.com). Hal sama juga terjadi di Chicago dimana Anthony Miranda (24) menjadi korban babak belur akibat salah memilih ‘korban’ perampokan seorang petarung UFC berusia 33 tahun. Tidak hanya babak belur, Anthony juga menderita luka tembak dari pistolnya sendiri (sumber: nydailynews.com). 

Ijazah dari universitas ternaman tidak menjamin kesuksesan seseorang di masa depan. Belajar belajar bela diri tidak menjamin Anda pasti selamat bila ada ancaman fisik, semuanya kembali pada kesungguhan yang belajar. Bila Anda ingin belajar bela diri untuk mempertahankan diri tapi perguruan yang sekarang lebih tertarik mengoleksi tropi pertandingan, segera pindah. Kalau ada teknik, kurikulum yang Anda rasa tidak praktis, bertanyalah pada instruktur bagaimana mengaplikasi yang Anda pelajari sekarang dalam street fight. Tugas murid tidak hanya menyerap pelajaran dari instruktur mentah-mentah tapi juga proaktif menarik benang merah aplikasi antara berantem riil ala preman dengan berantem terkontrol ala dojang. Akhir kata, selamat belajar bela diri apapun aliran Anda! Hendra Makgawinata Sydney, 19/08/14

PRAKTISI BELADIRI KALAH DENGAN PREMANISME? 

Ijinkan saya menelaah dan memberikan opini saya pada topik yang menggelitik ini. Mengapa praktisi beladiri dapat kalah ketika bertarung dengan preman? Ini pendapat saya. Saya tahu pengamatan saya tidak sempurna dan tidak lengkap, tetapi paling tidak mungkin bisa membantu rekan-rekan praktisi beladiri apa bila menghadapi pertanyaan atau kasus seperti tulisan di atas. MENTAL REAL FIGHTING Para preman sehari-hari bertarung dengan situasi nyata hidup dan mati. Resiko mereka bertarung adalah luka parah, cacat, masuk rumah sakit, bahkan mati. Itu "metode" latihan mereka. Para praktisi beladiri, teknik yang dilatih memang teknik yang tepat untuk membeladiri, tetapi tidak dalam situasi yang nyata. Misalnya, di dalam Aikido ada metode latihan tanto-dori (teknik menghadapi pisau) atau ken-dori (teknik menghadapi pedang), di mana pisau dan pedang yang dipakai adalah pisau dan pedang kayu. Katakanlah seorang Aikidoka fasih melakukan teknik ken-dori dan tanto-dori, dan ketika di jalan yang dihadapi bukan pedang atau pisau kayu, tetapi benar-benar pedang atau pisau, tentunya tidak cukup kemampuan teknik untuk menghadapinya, tetapi juga MENTAL. Pedang atau pisau kayu apabila salah menangkis paling-paling resikonya benjol, kalau pedang atau pisau benaran? Usus terburai taruhannya. Nah, para preman, hari-hari berhadapan dengan "teknik" yang nyata-nyata untuk merusak bahkan membunuh. Secara mental berkelahi, para preman tersebut terlatih di pertarungan nyata. Metode mereka cuma satu, "kill or to be killed". 

LATIHAN YANG TERKENDALI Sedahsyat apapun teknik yang dikuasai praktisi beladiri, di dalam latihan pasti dilakukan dengan kontrol. Di dalam kobujutsu, latihan teknik senjata seperti bo (tongkat), sai (trisula), atau nunchaku (double stick/ruyung), sehebat apapun teknik yang dilakukan tidak akan benar-benar dihantamkan ke tubuh partner latihan dengan alasan menghindari cidera. Kuncian seorang ahli Jiujitsu dalam latihan tidak mungkin sampai benar-benar membnuat kawan latihan patah tangan. Latihan kenjutsu yang menggunakan katana (pedang) sungguhan sekalipun tidak akan sampai menebas partner latihhan. Nah, para preman itu di jalan, apa bila mereka menghajar dengan botol atau kayu, mereka akan melakukan sampai kepala lawan bocor. Hari-hari, itu yang mereka lakukan. Latihan mereka adalah "real fight" yang se-real-real-nya. Mereka tidak akan mengendalikan tonjokan roti kalungnya. TEKNIK YANG DILATIH SUDAH TERMETODE. Di dalam latihan beladiri, pukulan dan tangkisan yang dilatih sudah termetode dan terarah. Sebagai contoh, ketika melakukan pukulan, seorang karateka, dilatih untuk melakukan pukulan ke sasaran yang sudah ditentukan, kepala atau ulu hati misalnya. Melakukan pukulan pun (choku tsuki atau oi tsuki) tangan harus lurus. Jadi, tangkisan yang dilatih pun disesuaikan dengan serangan tersebut, tangkisan atas (jodan uke) untuk pukulan lurus ke atas, tangkisan tengah (chudan uke) untuk pukulan lurus ke ulu hati. Nah, di jalanan, apakah preman memukul dengan cara itu? Apakah ia memukul lurus ke kepala? Tidak! Ia akan memukul membabi buta ke manapun! Di dalam kenjutsu, latihan suburi (menebas pedang), tebasan yang dilatih somen uchi (membelah kepala) atau yokomen uchi (tebasan ke arah leher), maka tangkisan yang dilatih adalah tangkisan untuk serangan itu. Dalam kendo atau latihan ken (pedang) di Aikido ada latihan kotei-men-do, yaitu latihan tebasan pedang ke arah pergelangan, kepala, dan rusuk. Tangkisan yang dilatih pun untuk melindungi tiga area itu. Pertanyaanya, apakah preman ketika menyerang dengan golok akan menyerang di titik-titik itu? Ia akan menyerang menebas sekenanya, menyabet ke arah-arah yang tak peduli itu kepala atau pergelang tangan. Mereka akan membabat celurit ke arah-arah yang mungkin praktisi beladiri tidak pernah berlatih tangkisan arah serangan itu. 

Sensei saya di kobujutsu (seni senjata) melatih saya untuk menyerang dengan bo (tongkat) dengan teknik nuki tsuki dan maede tsuki (tusukan lurus) ke arah rahang atau dagu. Ketika saya menusuk ke arah pipi atau bahu, saya ditegur karena itu bukan sasaran yang tepat. Sehingga ketika berlatih sparring partner, si A melakukan tusukan bo dengan arah yang sudah ditentukan, dan pasangan latihan si A akan melakukan tangkisan-tangkisan yang ia sudah didesain untuk menangkis bagian mana saja. Preman yang menyerang apakah melakukan pukulan kayu dengan lurus ke arah dagu atau tenggorakan? Dia akan menyabetkan tongkat di arah atau sasaran yang "tidak tepat", mungkin bahu atau pipi. Karena praktisi beladiri terbiasa menghindar dan menangkis serangan yang "tepat sasaran" justru akan kelabakan ketika serangan yang dilakukan ke arah-arah yang "tidak tepat". Ingat preman berkelahi tidak pakai teknik dan jurus, mereka hanya memukul, menyabet, mementung sekenannya, dan sering kali tanpa arah. 

LATIHAN YANG TIDAK LENGKAP. Praktisi beladiri, dengan begitu banyaknya teknik dalam seni beladiri, hanya berlatih sebagian kecil dari ilmu-ilmu di disiplin beladiri tersebut. Di dalam dunia karate misalnya, banyak teknik-teknik yang efektif untuk melumpuhkan lawan, untuk teknik tangan ada puluhan, tetapi karateka yang berlatih hanya untuk pertandingan paling banter hanya berlatih tiga pukulan (biasanya kizami tsuki, gyaku tsuki, dan uraken). Tendangan di karate juga ada begitu banyak, tetapi di dalam pertandingan, hanya dipakai tiga (maegeri chudan, ushiro geri, dan mawashi geri). Karateka yang hanya berlatih kata (jurus) untuk pertandingan, ketika melakukan bunkai, lebih banyak menonjolkan keindahan (entertainment) ala film laga ketimbang keefektifan teknik. Dalam pertarungan nyata di jalan tidak dibutuhkan keindahan, yang dibutuhkan secepatnya menghabisi lawan. 

JIWA KSATRIA/BUSHIDO Di dalam dunia beladiri, selain teknik yang ditempa adalah jiwa ksatria. Pertarungan yang dilakukan terhormat, tidak boleh berbuat curang, sportif, dan fair. Tidak boleh bermain kasar, bertarung kasar atau kotor, menggigit misalnya, atau mencakar mata. Padahal para preman itu tidak akan mempedulikan ksatria atau tidak, kalau memang mau keroyokan pun, merka akan lakukan. Di dalam dunia beladiri, biasanya apabila lawan sudah mengaku menyerah maka serangan akan dihentikan. Di Hapkido misalnya, atau di Judo, ketika lawan melakukan tap ke matras tanda menyerah ketika dikunci, mereka akan menghentikan serangan, itu lah pengendalian diri, jiwa ksatria. Apakah itu terjadi di pertarungan jalanan, tentu saja tidak. Itu pengamatan saya mengapa bisa saja praktisi beladiri kalah bertarung di jalanan dengan preman. Lalu, bagaimana untuk bisa bertarung di jalanan dengan preman? bila tujuan Anda berlatih beladiri agar semata-mata dapat bertarung di jalan, beberapa hal di bawah ini mungkin bisa menjadi referensi: BELADIRI ADALAH "DO" Para praktisi beladiri di zaman dulu berlatih tidak untuk iseng atau olahraga semata, apa lagi untuk mendapatkan medali. Mereka berlatih sebagai jalan hidup. Miyamoto Musashi, pendekar legendaris pedang Jepang, menurut sejarah terlibat pertarungan nyata dan membunuh sedikitnya 60 petarung lainnya. Musashi adalah pendekar yang mengikuti jalan pedang. Ia berlatih ilmu pedang bukan untuk sekadar iseng, atau mendapat medali, atau hanya dapat menghafal kata (jurus) pedang dan bunkainya (aplikasinya). Ia benar-benar berlatih sebagai jalan hidup. Apabila Anda ingin mejadi petarung, ya tak ada jalan lain mencurahkan hidup Anda untuk berlatih seni pertarungan. Mengapa para preman menang kalau berkelahi? Lah, setiap hari makanan mereka bertarung, itu "jalan hidup" mereka. Kalau kita berlatih hanya sampai tahap hafal kata (jurus) dan bunkai (aplikasi), itu pun seminggu hanya dua kali, malah sebulan sekali, walau sabuk hitam, mana bisa menang bertarung melawan mereka? 

FOKUS PADA TEKNIK-TEKNIK YANG ANDA YAKIN BISA DIPAKAI MEMBELADIRI. Banyak teknik di dalam beladiri, tetapi saya pribadi yakin, di dalam pertarungan nyata saya pasti hanya menggunakan beberapa teknik. Sebagai contoh, saya pribadi dalam pertarungan nyata tidak akan fasih menggunakan teknik washite (paruh rajawali), kakuto (ujung punggung tangan), kumade (tangan beruang), tendangan shito (tendangan ibu jari kaki). Seorang ahli beladiri mengatakan, lebih baik berlatih satu teknik sepuluh ribu kali, ketimbang berlatih sepuluh teknik tetapi hanya berlatih sesekali masing-masing tekniknya. Kalau tujuan Anda SEMATA-MATA latihan teknik bertarung di jalan, lupakan latihan Kata atau kembangan untuk pertandingan, lupakan latihan pukulan-pukulan atau tendangan yang hanya mendapatkan score. Latihah teknik-teknik yang memang untuk membuat lawan K.O. Tendangan yang mematahkan rusuk, pukulan yang merontokkan gigi dan membuat rahang lepas, tonjokkan yang membuat gegar otak. Itu kalau tujuan Anda berlatih untuk bertarung di jalan ala preman





LATIHAN SEMENDEKATI MUNGKIN SITUASI PERTARUNGAN NYATA TANPA ATURAN Latihan mendekati situasi pertarungan nyata seperti awal beladiri diciptakan. Kurang bijak apabila saya sarankan Anda untuk sering-sering menguji teknik beladiri yang Anda miliki di jalanan. Mencoba berkelahi benaran sesering mungkin. Hal itu bisa saja Anda lakukan, tetapi tentu saja ini bukan cara bijak. Anda bisa masuk ke penjara, mendapatkan masalah karena membuat orang masuk rumah sakit, atau Anda sendiri yang masuk rumah sakit, dan tentu saja mencoreng nama perguruan Anda. Karena metode tersebut saya rasa tidak disarankan di perguruan beladiri manapun. Tetapi di Asad Combat Ninjutsu Academy melakukan sparring partner sesering mungkin dengan serangan yang tidak diatur, bebas menyerang mana saja, tanpa teknik, bahkan brutal, dan bagaimana Anda menaklukannya. Awalnya, Anda dengan pasangan bisa menggunakan protector, dan step by step ketika instinct, mental, dan teknik semakin terlatih, protector satu persatu dapat dikurangi. Hingga tanpa protector sekalipun, serangan bebas ke arah mana saja, tetapi tentu saja Anda harus berani menerima risiko cidera fatal. 











BERLATIH TEKNIK-TEKNIK YANG MENGHANCURKAN Berlatih teknik bukan untuk mendapatkan score atau point, tetapi memang untuk menghancurkan. Tidak banyak praktisi beladiri dewasa ini yang melakukan latihan tameshiwari. Para praktisi beladiri zaman dahulu benar-benar menempa tubuh mereka menjadi senjata. Pendiri peguruan beladiri Gojukai, Master Gogen Yamaguchi, ketika menjadi mahasiswa, memasang papan di sepanjang jalan dari rumah menuju kampus. Setiap pagi ketika pergi kuliah, dan pulang dari kuliah ia memukuli papan-papan tersebut. Pencipta beladiri Goju-Ryu, Master Chojun Miyagi, jari-jarinya mampu merobek daging daging sapi seperti taring macan. Pencipta Kyokushin, Master Masutatsu Oyama, mennghajar kepala banteng hingga mati dengan pukulan (tsuki dan shuto). Para biksu Shaolin ahli kungfu, melatih jari-jari mereka menusuk (nukite) pasir yang dipanaskan. Kalau preman tidak akan segan menghantam kepala Anda dengan batu bata, dan Anda juga perlu membeladiri dari pada mati, pukulan yang meretakkan tengkorak memang harus dilakukan, bukan? "LUPAKAN" TEKNIK DASAR (KIHON). Ketika di jalanan ada orang yang memukul kepala Anda, apabila Anda seorang karateka, apakah Anda akan menangkis dengan sanchin dachi joda uke? Apa bila ada yang menyerang ke ulu hati Anda, apakah Anda melakukan shikodachi gedan uke? Apabila Anda Aikidoka, apakah Anda akan melakukan teknik hanmi handachi ketika lawan Anda berdiri dan Anda duduk? Apakah Anda yakin akan melakukan teknik uchi kaiten nage ketika ada lawan yang menusuk dengan pisau? Saya rasa tidak. Saya tidak mengatakan teknik dasar (kihon) tidak penting. Di dalam Aikido ada istilah TAKEMUTSU AIKI, yaitu teknik yang sudah tidak berbentuk. Ketika seseorang berlatih sebagai pemula, ketika melakukan teknik maka semua teknik harus terukur sesuai kihon. Kuda-kuda A selebar sekian, serendah sekian. Tangkisan B, setinggi sekian. Bantingan C, melangkah 45 derajat ke depan, berputar, dan seterusnya. Di dalam prinsip takemutsu aiki, kihon yang dilatih sudah tidak berbentuk. Awalnya untuk melakukan bantingan irimi nage misalnya, seorang Aikidoka memiliki kuda-kuda dengan jarak tertentu, tinggi tertentu, dan gerakan tangan tertentu, sesuai dengan kihon irimi nage. Tetapi seorang master Aikido, hanya dengan berdiri biasa tanpa kuda-kuda, dan hanya dengan mengebaskan tangannya, ia dapat melakukan bantingan irimi nage. Nah, prinsip ini dapat dijadikan metode latihan apabila ingin berlatih beladiri dengan tujuan bertarung "ala premanisme". Misalnya saja, di beladiri Goju-Ryu, ketika melakukan yokusoku kumite, ketika seme (penyerang) melakukan zenkutsu dachi chudan tsuki dengan tangan kanan, maka uke (pihak yang diserang) menangkis juga dengan zenkutsu dachi chudan uke dengan tangan kanan. Nah, dalam pertarungan nyata, kita mungkin tidak melakukan tangkisan serupa, tetapi kita dapat mengambil PRINSIPNYA, yaitu pukulan kanan, kita menangkis dengan tangan kanan agar kita di posisi punggung lawan atau titik mati atau titik blind spot, sehingga memudahkan kita menghajar lawan. Dalam pertarungan nyata, kita dapat melupakan bentuk bakunya, tetapi tetap lakukan prinsipnya. 

UBAH TUJUAN LATIHAN ANDA Para praktisi beladiri berlatih beladiri memang untuk bisa membela diri, tetapi pada umumnya sepanjang perjalanan beladiri, justru yang dilatih adalah menghormati orang lain, mengendalikan emosi dan diri, menahan diri untuk tidak menyakiti, tidak boleh menggunakan teknik untuk menyakiti, sehingga semakin lama kita berlatih beladiri semakin kita menahan diri kita untuk tidak terlibat di dalam pertarungan. Tujuan lain, berlatih beladiri untuk prestasi atau menjadi atlit, untuk sekadar berolahraga, atau hanya iseng-iseng mengisi waktu. Nah, apabila tujuan Anda semata-mata untuk bertarung di jalanan, maka tetapkanlah dipikiran Anda untuk berlatih beladiri untuk tujuan itu. Hal ini akan mengubah metode latihan Anda. Pukulan yang Anda latih tidak akan untuk mendapatkan point, tetapi untuk menjatuhkan atau merusak tubuh lawan. Tendangan, bantingan atau kuncian yang Anda lakukan bukan untuk keindahan teknik semata seperti di film laga, tetapi untuk benar-benar membuat lawan tak berdaya. Kalau memang tujuan latihan Anda untuk bertarung ala preman di jalan. Para praktisi beladiri yang bekerja profesional sebagai bodyguard, pasukan elit, mereka berlatih dengan satu tujuan: secepat mungkin melumpuhkan lawan, dan kalau perlu membunuhnya. 

LATIHLAH DIRI ANDA UNTUK PERTARUNGAN "JALANAN" ATAU PEPERANGAN Di dalam beladiri banyak teknik, misalnya mencakar, menjambak, menggigit, mencolok mata, mencengkeram telinga, memukul kemaluan, dan melempar pasir ke mata. Semua cara bertarung tadi sah untuk Anda lakukan. So, just do it. Preman tak segan-segan menendang kemaluan Anda atau mencolok mata Anda, kalau tujuan kita untuk bertarung dengan mereka, mengapa kita tidak melakukannya? Para NINJA di zaman dahulu berlatih teknik beladiri NINJUTSU dengan berbagai macam teknik yang luar biasa. Namun, ada prinsip yang mereka pegang, lakukan apa saja selama tujuan mereka tercapai. Sekalipun harus menusuk musuh dari belakang atau musuh dalam keadaan tidak siap. Prinsip bertarung yang berbeda dengan para samurai. Untuk bertarung dengan preman, prinsip NINJA tadi sah untuk digunakan.  

ASAD COMBAT NINJUTSU ACADEMY wadah pengembangan skill beladiri, bertarung, dan sebagian untuk berperang/militer, terlepas dari keterikatan sebuah aliran beladiri dengan prinsip tujuan tercapai. POKOKE MENANG.
(Hendro Saputro+Asadullah)